REFLEKSI


    “ Krekk!”
   Pintu di buka. Emal kaget melihat yang ada di hadapannya. Lima orang berpakaian rapi dengan senyum tipis yang mematikan. Ruangan ber-AC berubah menjadi panas ketika kakinya mulai melangkah ke tengah ruangan. Ini bukan pertama kalinya ia melakukan ini.
     “Apa yang membuatmu pantas untuk bekerja disini ? Kelebihan apa yang kau miliki anak muda ?“ tanya pria paruh baya perwatakan keras. Emal tak berani menengok kedepan. Kakinya bergetar kuat dengan keringat yang mengucur di badannya. Ini memang adalah pertama kali baginya diwawancara langsung oleh CEO perusahaan ia bekerja.
    “Kenapa kau diam? Apa alasan kau datang ke perusahaan ku?” tanya pria paruh baya lagi yang menambah kepanikan  Emal.
    “Saya ingin menjadi sukses pak! Memang saya tidak memiliki bakat, tapi yakin jika bekerja keras dan berusaha secara maksimal akan membuahkan hasil yang maksimal juga. Saya yakin tuhan selalu mendukung jika yang dilakukan adalah demi kebaikan!” Ujar emal dengan lantang yang bergema keseluruh ruangan. Ia baru bisa bernapas ketika seluruh ruangan berhenti bergema. Seperti hipnotis yang menghentikan waktunya untuk merasa. Diliriknya para pewawancara, ekspresi mereka bahkan tak terbaca. Hal itu menambah tetes keringat yang mengucur dari badannya. Emal berharap menit tersisa segera usai yang mengakhiri penjaranya.
   “Bagaimana wawancaramu sobat?“ suara yang dikenal Emal langsung bertanya antusias ketika ia telah keluar dari ruangan.
   “Buruk. Aku sangat frustasi. Seperti mau dimakan dan dibuang keluar angkasa Ko. Luar biasa!.“ Eko tertawa pelan mendengar jawaban dari sahabatnya itu. Ia tahu bahwa Emal orang yang pemalu dan selalu berkata tidak bisa apa-apa. Tapi faktanya Emal adalah anak yang rajin, dan pekerja keras.
   “Antar aku ke kafe ko, aku ada kerja hari ini”
   “Kamu tidak kuliah? Bukankah kamu ada jadwal hari ini?Kamu mau libur lagi? Ayolah kamu terlalu sering bolos kuliah Emal. Bisakah kamu membagi waktu dengan baik? Kamu bahkan tak memilki waktu untuk berkumpul bersama kami.” Pertanyaan yang telah mengganjal dan belum mendapat penjelasan oleh Emal. Membuat Eko penasaran dan ingin tahu jawabannya. Ia memang tahu kalau Emal kuliah sambil bekerja di sebuah kafe. Tapi akhir-akhir ini Emal begitu sibuk dan tak bisa membagi waktunya.
   “Aku belum bisa mengatakannya Ko. Ini terlalu sulit untukku menceritakannya. Suatu saat kamu pasti tau Ko.” Kata tersebut membuat Eko mendidih marah. Ia sudah sering mendengar kalimat itu dari Emal. Walau begitu ia tak bisa melakukan kekerasan untuk mendapat kejelasan. Memang menjadi sahabat Emal melatih kesabarannya menjadi kuat.
   Setela mengantar Emal, Eko melesat menuju kampusnya di Jakarta Barat. Ia dan Emal berbeda universitas. Namun hubungan keduanya berjalan dengan baik. Pertemanan mereka telah terjalin ketika SMA sampai akhir-akhir masa perkuliahan. Ada Fano, Ryan, dan Tari yang merupakan sahabatnya juga. Semuanya berbeda universitas tapi hubungan baik anatara mereka akan terus berjalan.
   “Bekerjalah dengan benar Emal!! Aku membayarmu untuk bekerja bukan belajar!! Kalau kau mau belajar di luar sana!! Bukan ditempat ini!!”
   “Maaf bu Dina. Saya sungguh minta maaf. Karena pengunjung sedang sepi, saya kira dapat belajar sedikit. Maafkan saya” ujar Emal dengan suara penuh penyesalan. Ia tahu bahwa pemilik kafe ini adalah seorang yang tegas. Kemarahan yang ditujukan padanya bukan juga tanpa alasan.
   “Saya maafkan. Kembalilah bekerja. Pandailah membagi waktumu Mal. Jika kau ingin melakukan sesuatu lakukan dengan maksimal. Ketika bekerja, bekerjalah dengan benar. Belajar, belajarlah dengan benar. Saya selalu percaya padamu.” Ucapan bu Dina adalah kata-kata ketiga yang menusuk hatinya. Sehari ini ia telah mendapat pukulan keras dari CEO perusahaan tempat ia melamar, sahabatnya Eko dan bu Dina bos tempat ia bekerja paruh waktu.  Emal berharap hari-hari seperti ini akan selamanya ia rasakan. Bukan karena sakitnya perkataan yang membuatnya rindu, tapi sikap keras yang mendidiknya untuk bergerak maju.
   Setelah banyak kejadian kemarin, Emal menjalani kegiatan perkuliahannya penuh sampai sore hari. Hari ini ia juga tidak bekerja di kafe. Bagi Emal kehidupan perkuliahan adalah yang paling berat diantara harus melakukan wawancara dan dimarahi Bu Dina. Bullying sudah menjadi makanan sehari yang menjadi tulang di dirinya.
   “EH KUMAL!! JANGAN DEKET-DEKET GUE!! ELO BAU TAU!!” kata tersebut diikuti tawaan teman-teman sekelasnya.
   “Ngapain juga lo masuk KUMAL!! Kerja sana cari duit buat makan. HAHA!!” tambah salah seorang temannya.
   “Ih najis gue duduk deket-deket elo!! MINGGIR!”  perkataan itu membuat Emal berdiri dari kursi yang ia duduki dan memilih duduk di pojok ruangan.
   Hal itu sudah biasa. Berada di lingkungan yang membecinya. Menjadi orang yang paling menjijikan. Dijauhi, diremehkan, bahkan dianggap sampah. Emal sudah tahan banting menghadapi orang-orang seperti teman sekelasnya. Walau begitu ia selalu bersyukur telah bisa berkuliah. Cacian dari orang yang membecinya seperti lagu agar ia tak boleh bermalas-malas. Berusaha dan berdoa kepada tuhanlah menjadi satu-satunya tempat untuk mengadu semua masalahnya.
   “ Ibu aku pulang!! Aku bawa martabak kesukaan ibu!! Ibu.. dimana?”
   “ Ibu dikamar Mal!!”
   “Ibu pucat? Ibu sakit lagi? Badan ibu panas, kita harus ke dokter bu. Emal sudah punya uang untuk ibu berobat. Ayo ibu kita ke rumah sakit.”
   “Tidak usah mal. Ibu tidak apa-apa kok. Kamu sudah makan Mal? Maaf ibu tidak memasak Mal. Badan ibu Cuma lelah saja. Besok pagi juga sembuh kok Mal” ujar ibu yang lembut dengan suaranya yang terlihat lemah.
   “Ibu!! Aku tahu ibu lagi sakit keras!! Aku tahu bu!! Ayo bu kita berobat ke rumah sakit!! Aku tidak mau ibu kenapa-kenapa!! Aku sayang ibu!! Ibu satu-satunya keluargaku. Semangat ku bu! Aku mohon ibu tetap sehat sampai aku menjadi orang sukses yang mampu di banggakan. Aku juga mau bawa ibu naik haji. Mau bawa ibu naik burung besi bu. Ibu tidak lupakan. Jadi Ayo bu kita ke rumah sakit!!”
   Emal menahan tangis melihat kondisi ibunya yang semakin melemah. Ia tahu ibunya selalu berpura-pura sehat. Ibunya bekerja sangat keras sejak ia masih kecil. Membiayai hidup mereka berdua. Demi melihat anak satu-satunya menjadi orang yang sukses.
  “Emal ibu tidak apa-apa. Istirahatlah nak, kamu pasti lelah kuliah seharian. Besok kamu juga kerjakan? Ibu benar tidak apa-apa. Kamu tak usah kawatir mal. Ibu sangat menyayangi kamu mal. Sangat sayang. Walau hidup miskin tapi kamu tak pernah mengeluh sedikitpun. Maaf ibu tidak bisa jadi orang tua yang baik untukmu mal. Ibu tidur dulu mal. Ibu lelah. Kamu tidurlah, sudah malam nak. Mal, jika ibu sudah tak ada. Jangan lupa sholat dan beribadah ya mal.”
   Kata-kata ibunya, membuat tangis Emal semakin menjadi. Emal paham maksud perkataan tersebut. Namun pria muda itu menolaknya. Suaranya tidak hentinya histeris melihat ibunya yang tertidur dengan senyum mengembang indah. Ia bahagia melihat ibunya tersenyum. Tapi menolak jika itu adalah senyum terakhir yang diberikan ibunya. Kerelaan sulit berpisah dengan orang yang sangat di cintainya. Ibu yang sebagai motivasinya menjalani hidup ini.
   Paginya, di rumah Emal. Para pelayat berdatangan untuk melihat ibu Emal. Banyak orang yang berdatangan. Ibunya adalah orang yang baik, jujur, dan pekerja keras. Wajar jika kematian ibunya membuat banyak orang simpati. Begitupun dengan sahabat-sahabat Emal. Hanya Eko yang bisa datang melayat. Sahabat yang lainnya tidak bisa datang karena jarak yang jauh. Tapi ucapan belasungkawa tidak lupa dikirim mereka untuk ibu Emal. Ibu sahabat mereka.
    “Mal... jangan terlalu lama terpuruk dalam kesedihan mal. Ibumu pasti bersedih melihatmu seperti ini” suara Eko yang terlihat sendu. Ia tak kuasa melihat Emal yang hanya diam. Pandangan kosong. Seperti tubuhnya sudah kehilangan rohnya.
   “Kau dengar aku Mal? Rela kan ibumu. Ia pasti sedang bahagia bertemu sang pencipta. Berhentilah menyakiti dirimu!!”
    Emal tetap diam. Eko sama sekali tidak mengerti apa yang ia alami. Hidupnya adalah untuk ibu satu-satunya. Motivasinya. Cita-citanya adalah ibunya.
   “Pergilah ko. Hidup ku sudah tak berarti lagi. Aku bahkan tak memiliki siapa-siapa”
   “Pergi ? Tak berarti lagi ? Tak memiliki siapa-siapa? Omong kosong macam apa itu Mal. Jadi kau bahkan tak menganggap kami ini sahabatmu? saudaramu? Kejam kau Mal!!”
   “Iya pergilah. Sudah sewajarnya aku sendiri. Aku bahkan hanya bisa menyusahkan kalian. Aku tahu kalian juga membenciku. Aku memang orang yang pantas dibencikan Ko ? Pergilah!”
   Sebuah pukulan mendarat di pipi Emal. Eko sudah tidak tahan mendengar perkataan Emal. Selama ini ternyata Emal banyak menyembunyikan masalah yang ia tidak ketahui. Ia mulai paham kenapa Emal begitu sibuk. Ia sudah gagal menjadi sahabat yang baik.
   “Maafkan aku Mal... maaf... kami tak mungkin bisa meninggalkanmu Mal. Kau keluarga kami. Maafkan aku sudah egois” suara Eko sudah terdengar parau. Air mata Eko sudah menetes. Ia tak mungkin meninggalkan Emal sendirian. Sekarang ialah keluarga Emal.
   Emal dan Eko keduanya menangis begitu kencangnya. Emal tahu ia telah melupakan sahabat yang selalu menemaninya. Dan memang tuhan begitu mencintainya.
    4 Tahun kemudian....
   “Mal.. Bagaimana dengan perusahaanmu yang di Jepang ? “
   “Baik Fan... Alhamdulillah. Ryan dan Tari kemana ?”
   “Biasa Mal... travelling. Kebiasaan banget kalau ngumpul kagak bisa.” Ujar Eko sambil menyeruput secangkir kopinya.
    “ Padahal aku kangen banget sama mereka”
    “Gaya kamu Mal... mentang-mentang sekarang sudah jadi CEO muda. Cie...ciee” ledek Eko sambil ketawa ngakak.
   “Ini karena kalian juga sob. Terima kasih ya”
   “Ah... mellow terus Mal... santai saja sellow Mal. Kita sohib wajar kalau kita ada kamu membutuhkan. Dan sekarang gak ada kan yang menghina kamu lagi Mal ? Itu karena usaha dan doa mu juga Mal.” Emal dan Eko tertawa mendengar perkataan yang tidak biasa digunakan Fano.
    Emal sangat bahagia memiliki sahabat dan Bu Dina yang ia anggap sebagai ibu kedua baginya. Walau teman-temannya dulu membenci dirinya. Tapi ia bahagia memiliki orang-orang yang mencintainya. Tuhan memang selalu adil. Jika kita berusaha, bekerja keras dan selalu berdoa. Tidak ada kata yang tidak mungkin. Ikhlas dan profesional. Hal itulah yang membuatnya sampai di tempat ia berdiri sekarang. Walau ibunya telah tiada, nasehat-nasehatnya masih terngiang di otaknya. Inilah hasil dari sebuah kerja keras.

   “Ya Allah... terima kasih atas segala yang kau berikan. Tak bisa aku berhenti bersyukur kepadamu. Tak bisa mulut ini berhenti meminta maaf atas dosa yang lalai padamu. Ku serahkan diriku pada-Mu. Pakailah aku.”

Komentar